Jumat, 25 November 2011

Bumi dan Venus

Aku Venus. Aku berotasi dengan matahari sama seperti yang lain. Hanya saja arahku berlawanan. Hal itu juga yang membuatku terlihat lebih keras kepala ketimbang yang lain. Banyak yang bilang aku ini sebenarnya indah, hanya saja awan selalu menyelimuti tubuhku hingga orang tak pernah kenal dengan ku lebih dekat.
Empat bulan yang lalu aku terpikat dengan pria bernama, Mars. Dia berada bersebelahan dengan orang yang tak ku kenal tapi selalu disampingku, Bumi. Mars begitu tampan. Seperti disihir. Padahal aku baru saja mengenalnya. Warnanya yang kemerah-merahan membuat kesan misterius tetapi maskulin. Tak gampang ditebak tetapi terlihat meyakinkan. Dia lebih bersahabat dengan yang lain dibanding aku.
Hampir sebulan kedekatan kami. Tak membuat semua jauh lebih baik. Aku yang tertutup awan berusaha untuk sedikit terbuka. Tapi dirinya yang terlihat bersahabat, malah menarik awan gelap hingga akhirnya menutupi dirinya sendiri dari tatapanku. Pasca itu, aku sulit melihatnya. Selain ditutup awan gelap, Bumi temannya ikut juga turut menghalang-halangiku.
            “Hei kau, tolong minggir sedikit. Aku ingin melihat Mars!” teriakku ke Bumi.
            Bumi tak menggubris.                                                                                       

Sering kali aku memintanya untuk minggir. Tapi dia tetap disana dengan wajah innocent. Oh, Bumi tolonglah aku….
Aku bosan mengharapkan Mars.Kegalauan makin membuatku jauh dengan sekitarnya. Rotasiku yang berlawanan membuat waktu berjalan makin lama. Kebosanan ini terus menghinggapi, hingga tetanggaku yang selama ini bersama, Merkurius, memintaku untuk menjadi teman dekatnya. Aku dan dia memang sudah dekat sebelumnya. Hanya saja waktu tak pernah mengijinkan kita bersama.
Aku coba menjalani dengan Merkurius. Tak banyak yang aku bisa ketahui tentangnya. Karena setahuku hanya ada satu pesawat antariksa, Mariner, yang pernah mendekatinya, dan hubungannya menjadi intim hingga sekarang. Aku pun mengenal Mariner. Kita bersahabat. Hubungannya dengan Merkurius terhenti ketika Mariner tak tahan dengan sikap pria itu.
Bodohnya, satu kesalahanku. Ketika Merkurius memintaku untuk berotasi bersamanya, aku iya kan. Aku yang sedang kehilangan arah dan dia yang sendiri, berotasi sebentar saja. Karena ku kira Merkurius tahu arah yang benar, ternyata dia makin bingung. Dan ingin kembali mencari Mariner.
Aku tak bisa mengharapkannya. Kembali aku bergulat dengan diriku. Merkurius dan Mars sepertinya memang tak mungkin ada kehidupan bersamanya. Aku yang beda dari yang lain, tertutup awan, walaupun masih ada harapan karena ada termobakteri yang masih mau hidup bersamaku.
Aku melirik kearah Bumi. Dia begitu tenang. Padahal ditubuhnya begitu banyak rasa. Rotasinya pun jelas. Pas, tak cepat maupun lambat. Ada kehidupan disana. Aku tak berani menegurnya setelah beberapa kali menyuruhnya pergi karena menutupi pandanganku ketika ingin melihat Mars.
Ah, sudahlah! Dia juga tak peduli denganku, menganggapku ada tau pun tidak, aku tak tahu. Wajahnya begitu datar.
            “Hei,maukah kau menemaniku?” tawarnya.
            Aku tersentak dan terdiam.
            “Mau tidak?” tawarnya lagi.
            Aku hanya tersenyum. Lalu berusaha menyusul langkahnya.
            Ya… seperti dugaan ku. Didalam dirinya begitu banyak kehidupan. Aku dan dia memang beda. Tak ada alasan untuk kami hingga akhirnya memutuskan berotasi bersama. Walaupun banyak yang meragukan kami karena dia lebih cepat tujuh rotasi dari aku.
           Akhir dari perjalanaku ini rasanya memang tepat jika aku harus berlabuh di bumi. dan terus mengarungi kehidupan ini mengitari matahari sebagai sumbar penghidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar