Tik,tok,tik,tok detik jam dan suara
kipas angin menempel di dinding kamar setia menemaniku malam ini. Seharian
nyaris tidak ada yang ku kerjakan. Padahal saat ini bukan waktu yang pantas aku
diam. Di otakku berbagai ide dan angan ingin menyeruak keluar. Tapi badan
seperti enggan menurutinya.
Bukannya
malas. Hanya saja saking banyaknya jadi sulit memilih. Aku takut kebiasaan ku
meninggalkan setengah angan yang sedang aku rintis untuk menjadi kenyataan
terulang. Selalu saja ada pilihan yang membuatku harus meninggalkan semua
mimpiku. Katanya mimpiku muluk.
Mulai
dari nol lagi setelah setengah berjalan, rasanya sia-sia saja. Aku tak ingin
mengidap paham fatalistic. Pasrah menerima segalanya. Terus-terusan mengulang
yang sama juga bukan hal yang bagus. Aku seperti keledai saja.
Sebenarnya
manusia itu apa? Ketika mereka mempunyai otak untuk berpikir mencari cara agar
terbebas dari ketentuan deterministik, tapi mereka harus kembali berkutat
dengan sesuatunya yang tak pasti. Ujung-ujungnya harus pasrah juga. Seperti
dipermainkan. Aku tak ingin bertengkar dengan Tuhan, karena jelas Dia Maha
segalaNya. Aku lelah.
Lagu
bilang, dunia ini panggung sandiwara. Klise. Tapi begitu adanya. Memerankan
menjadi orang-orang palsu ditengah kepalsuan itulah sebabnya mengapa itu ADIL.
Apapun peranmu, pasti akan mempengaruhi eksistensimu. Menjadi figuran
sekalipun. Beruntunglah jika kau termasuk yang multitalented. Pasti kau jago
berdialog dengan orang lain dan kau takkan tersepak dari panggung ini.
Aku sih
sebenarnya senang-senang saja. Selama aku bernapas dan aku tidak terluka
sedikitpun, aku mampu melakoninya. Hanya saja aku bosan.
“Tak
ubahnya kau itu seperti binatang. Seperti kucing. Meringkuk dipojokan,” ujar
wanita tua yang aku temui kemarin ditaman kota.
Rasanya
ingin ku cakar saja sekalian wajahnya jika mengingatnya. Enak saja berkata.
Waktu itu hujan baru saja selesai turun. Aku berteduh dibawah pintu museum yang
terletak di Kota, senin malam.
Suasana
cenderung sepi. Sialnya aku berteduh hanya berdua dengan wanita paruh baya itu.
Pakaiannya terlihat mencolok untuk seumuran seperti ibuku. Mengenakan legging
hitam, dan mini dress berwarna emas. Wajahnya sudah keriput. Rambutnya dijepit
keatas memperlihatkan lekuk lehernya. Memakai lipstick merah pekat membuat
bibir tipisnya terlihat penuh. Bisa kutebak dia sedang menjadi lonte malam ini.
Bau tanah merebak. Aku suka sekali. Tak ku gubris ucapannya tadi. Aku memang terduduk dipojokan menyender di daun pintu. Apa haknya berkomentar tentang apa yang aku lakukan disini. Malas meladeni wanita gila itu.
“Kucing
akan pergi jika hujan sudah berhenti. Pergilah sana, jangan disini,” tambahnya
lagi.
“Apa
urusanmu?” tanyaku sambil melirik sinis.
“Pergilah
kau. Ini sudah malam. Kembalilah kau ke susu ibumu.”
“Apa
maksudmu?”
“Lihatlah
Guess yang kau pakai, masih nyala kan?!” tatapannya seakan ingin menyambar jam
tangan yang ku pakai. “Lihat, sudah jam berapa. Banyak orang-orang yang tadi
kau anggap gila ada disini sedang bermain.”
Hah! Dia bisa membaca pikiranku.
“Sayang
jika kau terjamah disini, cantik!” kali ini dia mendekatiku.
Aku
makin meringkuk dan mendekap lututku rapat-rapat. “Mau apa kau?”
“Kau
kurang menjiwai. Harusnya kau bisa lebih. Karaktermu selalu ambigu. Kau
sebenarnya ingin jadi siapa?”
Aku
mengerutkan dahi.
“Jika
kau ingin menjadi protagonist lakukanlah dengan sedikit perlawanan. Atau
menjadi antagonis? Maka kau harus jadi kuat dahulu,” kali ini dia membelai
rambutku.
Sumpah!
Aku takut dan ingin berlari. Tapi badan ini terlanjur dikepung tangannya.
“Lepaskan
aku!” teriakku.
“Tenanglah
sejenak. Aku ingin mengingat waktu aku menjadi ibu.”
Dekapannya
hangat. Bisa ku dengar detak jantungnya. Seperti ini kah ibu? Ibuku tak pernah
memelukku seperti ini. Beliau terlalu sibuk menjadi wanita karier.
Makin
lama, bau parfumnya membuat aku mual. “Lepaskan!” aku berontak dan berhasil
menjauh beberapa meter.
Meskipun
cahaya agak redup, aku masih bisa melihat wajahnya yang memelas ketika melihat
aku menjauh. Perlahan dia usap wajahnya. Aku rasa dia menangis. Duh, aku jadi tak
enak.
Kembali
aku dekati. Benar saja dia menangis. “Kenapa kau menangis? Bukan karena aku
kan?”
Dia
meraih tanganku dan mengajakku duduk dipelataran museum.
Dia
menatap lekat diriku. “Aku sama sepertimu, aku manusia dan peran terakhir yang
aku pilih menjadi seorang ibu. Jadilah aku, ibu. Mempunyai dua anak dan suami
yang sedang dipenjara karena tertangkap menjual sabu.”
“Pagi
ibu, dan malam…”
“Menjadi
penghibur. Ini pilihan bebasku.”
“Tapi
kan ada peran lain yang bagus?”
“Sejauh
ini, hanya ini yang bisa aku lakukan. Peran utamaku ya ibu. Tapi karena suamiku
tidak ada, aku harus menggantikannya”
“Bukankah
melelahkan dan tidak adil ya?”
“Aku tak
pernah menyalahkan suamiku. Karena aku tahu dia menjual sabu untuk membiayai
hidup keluarga. Hukum alam tidak dapat dikompromi jika kau diam maka kau akan
mati. Tapi bisa dihindari untuk sedikit memperpanjang hidupmu.”
Aku
terdiam. Menohok sekali ucapannya.
“Kau
bukan kucing kan?” tanyanya lagu sambil menepuk punggungku pelan.
“Kau
yang kucing. Kau seperti binatang,” kalimat itu terlontar begitu saja.
Dia
melotot. Mukanya berubah menjadi merah.
“Hanya
hewan yang hidupnya dihabiskan untuk memperpanjang hidup. Tak lebih dari itu,”
aku menjadi dosen filsafat.
“Kau
masih kecil. Tau apa kau tentang hidup,” suaranya bergetar menahan marah.
“Manusia
unik bukan sekedar mekanistik yang kerjanya memperpanjang hidupnya. Alangkah
ruginya hidupmu,” aku diatas awan.
“Sok
tahu!” dia terkekeh. “Apa kau kira aku tidak bahagia? Apa kau kira aku tidak
merasakan sesuatu atas apa yang aku lakukan?”
“Bukan
hanya sekedar rasa tapi semangat menjadi yang lebih baik dan berguna,” ucapku
sedikit memaksa.
“Aku
sedang berusaha bodoh! Aku sedang mempersiapkan anak-anakku menjadi apa yang
kau bilang ‘manusia’.”
“Kau itu
lucu sekali. Seperti kucing,” aku tertawa. Aku benar-benar seperti orang yang
sudah melahap ribuan buku.
Ku
pejamkan mataku dan ku paksa untuk kembali terbuka. Pusing aku berusaha
mengingat kejadian kemarin. Aku berganti posisi menjadi terduduk di pinggir
ranjang. Kamarku berantakan penuh kertas tugas kuliah yang belum ku selesaikan.
Termasuk menyelesaikan tugas skenario apa yang akan ku mainkan esok hari saat
bertemu mereka-mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar